Selasa, 06 Maret 2012

Negeri 5 Menara by Ahmad Fuadi


“Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia.” (Kiai Rais – p. 51)

Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.

Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.

Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.

Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.

Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.

Mimpi itu butuh tangga yang cukup kokoh untuk bisa digapai. Kerja keras dan doa adalah anak tangga yang cukup kokoh untuk setiap orang yang berniat menjadikan mimpinya kenyataan.  


Setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah alias SLTP, Alif Fikri berniat untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah umum atau SMU. Namun keinginan ini terganjal oleh Amak. Amak bersikeras agar Alif masuk pesantren saja. Alasan Amak, selama ini Pesantren hanya sekolah kelas dua. Orangtua mengirimkan anaknya ke Pesantren bila anak mereka tidak lagi tunduk pada peraturan mereka alias anaknya bandel, anaknya kurang pintar sehingga tidak diterima di sekolah umum.



Setelah melakukan mogok bicara, akhirnya Alif setuju untuk masuk pesantren dengan syarat pesantren tersebut harus berada di Pulau Jawa, bukan di Sumatera Barat. Berat hati Amak dan Ayah menyetujui permintaan Alif. Dengan perjalanan darat tiga hari tiga malam Alif dan Ayah pun berangkat. 

Di Pondok Madani, lewat sebuah hukuman akibat terlambat datang ke Masjid, Alif bersahabat Erat dengan Raja, Said, Dulmajid, Atang, dan Baso. Pelan-pelan dirinya mulai mampu beradaptasi dengan peraturan Pondok Madani yang ketat, kesibukan yang tak kunjung berakhir, meskipun surat-surat dari sahabatnya Randai selalu menjadi api dalam sekam. Membuat Alif selalu ingat akan keinginannya masuk SMA.

"Luar biasa kawan. Semoga keputusan kau ke Jawa itu benar. Kalau tidak, cepatlah kembali, mungkin kau masih bisa dipertimbangkan diterima di SMA ini. Aku tunggu jawaban surat ini." (p. 102)

Ternyata Pondok Madani tak hanya sebuah pesantren yang identik dengan ilmu agama. Ada banyak kegiatan olahraga yang bisa diikuti, kegiatan ekstrakulikuler untuk pengembangan bakat dan minat sesuai keinginan siswa. Masalah makanan di asrama yang katanya asal jadi dan tak bergizi??? Hhhmmm....

 "Kami di PM menyebutnya salathah rohah, atau sambal istirahat. Apa yang membuatnya sangat fenomenal? Penampilan sambalnya bersahaja saja. Campuran cabe merah dan hijau yang digiling kasar, bersatu di dalam cairan minyak yang berlinang-linang kehijau-hijauan. Tapi begitu disendokkan mbok dapur ke piring kami, wangi cabe yang meruap-ruap langsung menawan saraf-saraf lidah. Air liur rasanya mencair di dalam mulut." (p. 120)

Segala sukacita, kepedihan, dan cerita tentang cita-cita serta mimpi di masa depan yang mereka bagi bersama dibawah menara masjid, tempat tongkrongan paling yahud yang mereka miliki di Pondok Madani mendadak goyah saat salahsatu dari keenam sahabat karib itu harus pergi meninggalkan pondok Madani, menunaikan baktinya di kampung halaman.
"Aku merasa kami semua baru sadar betapa sakitnya kehilangan teman. Kami bagai rahang yang kehilangan gigi geraham. Hanya ada sebuah sudut berlubang di bawah menara ini dan di pedalaman hati kami." (p. 368)


Empat tahun bersama-sama berbagi tugas, hukuman, doa, cerita, dan mimpi itu haruslah selesai dalam rangkaian panjang ujian fisik dan mental yang diadakan Pondok Madani. Dan ketika Kiai Rais mengucapkan salam perpisahan, ribuan jabat tangan dengan para pengajar, teman sekelas, para adik kelas, serta rangkul hangat sesama anggota Sahibul Menara, mereka semua berpisah dengan satu tujuan. Meneruskan perjuangan untuk meraih cita-cita.


Hingga pada suatu ketika, sebelas tahun kemudian, Alif kembali bertemu dengan beberapa orang anggota Sahibul Menara di Trafalgar Squre London, tempat yang dulu pernah sangat mereka impikan untuk mereka datangi, berbagi cerita tentang masa lalu dan tak lupa kabar para anggota Sahibul Menara yang lain.

"Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Dulu kami tidak takut bermimpi, walaupun sejujurnya tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan menggirimkan benua impian ke pelukan masing-masing. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami." (p. 405)
Jika mau dipukul rata dengan buku fiksi lainnya karya pengarang lokal, buku ini bisa langsung dibandingkan dengan Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan 5cm karya Donny Dirgantoro. Penuturan ala Laskar Pelangi dengan ide-ide serta jalan cerita yang begitu "wah" ala 5cm. 


Namun, jika di Laskar Pelangi kita bisa menjumpai deskripsi sebatang pohon beserta bunga dan daunnya dipaparkan hingga bisa mencapai satu halaman, maka di Negeri 5 Menara ini deskripsi-deskripsi yang ada tak terlalu panjang lebar.


"Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji. Di depan gedung ini, hamparan pohon american elm  yang biasanya rimbun kini tinggal dahan-dahan tanpa daun yang dibalut serbuk es. Sudah 3 jam salju turun. Tanah bagai dilingkupi permadani putih. Jalan raya yang lebar-lebar mulai dipadati mobil karyawan yang beringsut-ingsut pelan. (p.1)


Tidak bisa dipungkiri jalan ceritanya serta ide-ide yang ada memang mirip dengan 5cm. Namun di novel ini ide tak terlalu banyak ditampilkan. Hanya pengulangan "Man Jadda Wajada" yang terus bergaung di hampir setiap halaman.


Man jadda wajadda. Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna tegas. "Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil." (p. 41)

Bicara tentang cover, meskipun buku yang saya miliki adalah cover dari film yang beredar bioskop, saya lebih suka cover saat terbitan pertama kali. Visualisasi dari kelima benua yang ada beserta menara-menara yang menjadi simbol kelima benua tersebut. Ditambah dengan gradasi warna oranye kecoklatan yang menggambarkan suasana sore hari saat dulu, keenam sahabat itu berkumpul menjelang tiba waktu shalat Magrib di Pondok Madani.


Saat mulai membaca bab pertama dengan kondisi perasaan yang mendadak galau akibat pesan singkat yang terkirim oleh seorang teman yang (lagi-lagi) menyayangkan keputusan saya untuk merantau seorang diri tanpa sanak saudara ke Maluku Utara, sebuah kutipan dari ulama terkenal, Imam Syafii, yang ada di lembar pembuka, cukup membuat saya yakin bahwa keputusan yang saya ambil tak salah. Ternyata tak salah saya memilih buku ini di online bookstore sebagai pengganti buku yang saya inginkan sedang kosong.

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam
di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti
dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa
setelah lelah berjuang (Imam Syafii) 

Judul : Negeri 5 Menara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 432
Serial : Negeri 5 Menara #1
Kategori : Fiksi Indonesia
ISBN : 9789792248616
Rating : untuk mimpi dan kerja keras serta doa yang menjadi kenyataan.



5 komentar:

  1. pengen baca buku ini sebelum nonton filmnya, kayaknya bisa membangkitkan semangat, hehehe

    BalasHapus
  2. aku malah sama sekali nggak bisa nonton filmnya... disini gak ada bioskop... mau nonton bajakan males ah.... biasanya gambarnya nggak bagus....

    BalasHapus
  3. novel atau filmnya yang lebih berkesan? :D

    BalasHapus
  4. sudah bacaaa... *tersenyumlebar*

    cinta banget sama buku karya bang fuadi. Inspiratif, Menggebu-nggebu dalam Ilmu..

    Benar-benar mantera yang menyihir semangatku untuk kembali belajar.
    Man Jadda Wa Jada, Man Shabara Zhafira! :)


    Ranah 3 Warna nggak kalah oke juga hlo.. ;)

    BalasHapus
  5. reviewnya bagus sekali, mbak :)
    aku ingin nonton filmnya sayangnya udah kelewatan :')

    @fythra

    BalasHapus

Kamu datang. Kamu baca. Kamu komentar. Iya kan? :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...