Senin, 09 April 2012

Blue Surgeon by Abdul Mughni Rozy


“Kebahagiaan tidak diperoleh dari sukses dalam pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Kebahagiaan ditemukan dalam pekerjaan yang membahagiakan orang banyak.” (Jalaludin Rumi – p. 221)
Blue Surgeon , sebuah novel biografi...

...Alat kesehatan yang Bapak kirim sebagian sudah terpasang di tubuh pasien, tapi sayang belum satupun dibayar oleh Pemkot, karena klaimnya belum keluar”...

Inilah cuplikan pengalaman seorang dokter yang mempunyai pilihan hidup mengharukan dengan segala konsekuensinya.

Mulai dari didepak dari Puskesmasnya ketika melawan marasmus (gizi buruk) saat menjadi Dokter Umum, hingga jasa pelayanannya sebagai Dokter Bedah tidak terbayarkan oleh Pemkot. Masa studi yang molor karena memilih ikut membantu korban tsunami Aceh, serta dipecat dari RS swasta karena memilih merasakan harumnya bau jihad di Jalur Gaza Palestina.

Bagaimana kisah Abdul Mughni sang dokter bedah yang antusias menolong sesama umat manusia yang sedang mengalami penderitaan sementara kenyaataan hidup sehari-hari begitu hedonistik dan permisif?

 Segera nikmati novel biografinya ini, sangat penuh inspirasi, membuat kita kembali instropeksi diri, mau ke mana kita hidup ini? 


Menjadi seorang dokter adalah sebuah pekerjaan yang tidak ringan. Inilah yang ingin disampaikan oleh sang pengarang. Ia menuturkan semua pengalamannya di buku ini. Sebagai pembuka, ia memaparkan sedikit tentang perjalanan sewaktu masa kuliah S1 di Fakultas Kedokteran. Cerita baru dimulai sewaktu pengarang dalam masa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah.

 Menjadi seorang PPDS Bedah (dan PPDS di bagian lainnya) bukan perkara gampang. Selain karena urusan biaya pendidikan yang tidak sedikit, menjadi PPDS (yang biasa dipanggil residen) pun dituntut untuk bersedia bekerja dan belajar keras, tidak tidur, jarang pulang ke rumah, dan hanya punya sedikit waktu untuk bertemu keluarga. Saat di rumah sakit pun yang menjadi rumah pertama mereka (rumah sesungguhnya adalah rumah kedua), jangan berharap fasilitas yang nyaman yang mereka dapatkan. Saking tak adanya waktu, sering komunikasi dengan keluarga pun menjadi terlupakan.

"Penelitian menunjukkan bahwa banyaknya angka kejadian LAMDeK sebanding dengan lamanya resident berlama-lama di ruang bedah." (p. 55)

Selepas menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis, pengarang mencoba bekerja di ujung barat Indonesia, pulau Weh, Sabang dimana terletak titik Nol Kilometer sebagai penanda batas wilayah Indonesia. Program Pengobatan Gratis yang digagas pemerintah daerah berjalan lancar. Tak ada kutipan liar yang ditujukan kepada masyarakat saat menikmati fasilitas kesehatan, para petugas medis dan non medis pun tak pernah memikirkan tentang uang masuk mereka. Toh, nanti klaim atas segala jerih payah mereka siang malam akan terbayarkan. Namun, tiba-tiba keluar sebuah peraturan jika program pengobatan gratis tersebut dinyatakan tidak berlaku, sementara perhitungan atas segala klaim tindakan yang telah dikerjakan belum bisa dipastikan dibayarkan atau tidak padahal kontrak telah ditandatangani oleh pihak yang terkait.

 "Keputusan pokok yang kami ambil adalah SK Peraturan Walikota tentang tarif Program Pengobatan Gratis ini kami cabut dan kami nyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, kami belum bisa memastikan apakah jasa medis yang telah Bapak Ibu lakukan akan dibayarkan karena belum ada peraturan untuk melegalisasi proses pembayaran membayar jasa medis tersebut." (p. 229)

Cerita ditutup dengan perjalanan Abdul Mugni ke Palestina. Disana dirinya bertemu dengan dokter yang cukup kasar dalam memperlakukan pasiennya. Dokter tersebut menampar pasiennya yang sedang menangis, padahal gadis itu sedang kesakitan karena thorax tube masuk ditusukkan ke rongga selaput dadanya meskipun obat anti nyeri sudah disuntikkan terlebih dahulu.  Dirinya pun kagum dengan anak-anak Palestina yang dalam keterbatasan, mereka tetap tidak mau meminta-minta. Mereka lebih baik berjualan teh hangat di sekitar rumah sakit untuk mendapatkan uang.
"Anak-anak Gaza penjual teh adalah gambaran ketegaran rakyat Gaza, mereka tidak akan pernah mati meskipun diserang habis-habisan oleh Israel, mereka tidak berteriak minta dikasihi dunia, mengemis kepada negara-negara lain dengan menjual diri, tidak akan." (p. 285)

Menggunakan sudut pandang orang pertama menjadikan buku ini enak untuk dibaca, seolah-olah membaca catatan harian pribadi. Kehidupan para PPDS di balik tembok putih rumah sakit membuka mata bagaimana mereka harus berjibaku antara menjaga kesehatan dan keselamatan pasien, mengerjakan tugas-tugas yang tak terhitung banyaknya, menyelesaikan jam-jam jaga yang melelahkan, dan tetap harus menjalin komunikasi yang intens dengan keluarga di rumah. Saya jadi teringat pada perkataan seorang PPDS beberapa tahun silam, seorang PPDS itu mempunyai tiga rumah. Rumah pertama, rumah sakit, tempatnya bertugas. Rumah kedua mobil, tempatnya menyimpan segala hal mulai dari pakaian, buku-buku teks yang super duper tebal, dan barang-barang lainnya.  Dan rumah ketiga adalah rumah yang sesungguhnya, tempat keluarganya berada.

Pic taken from here
Saat membaca bagian tentang Sabang, saya seolah-olah merasakan perasaan gemas Abdul Mughni saat harus merujuk pasien ke dukun patah tulang lengkap dengan infus terpasang di lengan pasien, sementara dirinya yang merujuk memiliki kompetensi untuk melakukan operasi terhadap pasien. Ikut merasakan keindahan alam Sabang yang legendaris itu. Membuat keinginan lama saya kembali muncul untuk bisa menjejakkan langkah di kota paling ujung barat Indonesia ini. Dan... keinginan untuk bersnorkeling menikmati keindahan bawah laut Sabang bersama Blue Surgeon dan Nemo, merasakan Pia AG dan Sate Matang, atau sekedar berfoto di Tugu Nol Kilometer.

Kelebihan buku ini terletak pada fontsnya yang besar pun membuat buku ini nyaman untuk mata. Penggunaan istilah medis yang bertebaran di dalam buku ini tak akan menyulitkan pembaca karena di akhir buku diselipkan glossarium untuk memudahkan pembaca mengerti istilah-istilah medis tersebut.

Kekurangan buku ini adalah banyaknya judul di setiap bagian sementara masing-masing judul tersebut memiliki cerita yang tidak terlalu banyak dan dalam. Jika beberapa judul tersebut digabung menjadi satu, ceritanya akan terasa lebih banyak dan agak mendalam penyampaiannya.

^^^^^^^^^

Pic taken from here
Blue Surgeon atau lengkapnya Blue Surgeonfish adalah ikan karang yang dapat ditemukan di kedalaman 10 sampai 40 meter di perairan Indo-Pasifik, sehingga ikan ini juga dikenal dengan nama Indo-Pasific Blue Tang. Nama lain yang lazim diberikan padanya adalah Blue Tang, Regal Tang. Mempunyai warna kuning terang pada sirup samping kiri dan belakang serta ekornya, ditambah dominasi warna biru dengan berbagai gradasi warna yang berbeda, dilengapi semburat warna hitam menjadikan ikan ini termasuk dalam ikan yang juga dipelihara di dalam akuarium (disarikan dari sini).

Judul : Blue Surgeon
Pengarang : Abdul Mughni Rozy
Penerbit : Wicaksana Pustaka
Halaman : 318
Kategori : Personal Literature
ISBN : 9786029839234
Rating :  untuk perjalanan dr. Abdul Mughny dari Sabang hingga Gaza.



3 komentar:

  1. wuah, semakin banyak buku yang mengulas kehidupan seorang dokter, sebuah profesi yang berat kan?

    BalasHapus
  2. sebuah profesi yang berat??? Hhhmmm... bagi saya.... iya....

    karena tanggung jawabnya ke masyarakat dan ke Tuhan, juga ke diri sendiri...

    BalasHapus
  3. ya takutnya tanggungjawabnya nggak diemban dengan baik.

    BalasHapus

Kamu datang. Kamu baca. Kamu komentar. Iya kan? :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...