Sub Judul : -
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, November 2012
Halaman : 104
Format : paperback
Status : pinjam punya ponakan
Genre : Graphic Novel, Humor
ISBN : 9789799105073
Periode Baca : 08/02/2014 - 08/02/2014
Cerita para manula yang gokil dan konyol ini emang bikin kesengsem :)))
Kali ini para manula, Sanip, Waluyo, Liem , pergi ke desa Waluyo, Tingal karena Waluyo mendadak kangen pada kampung halamannya. Karena faktor usia yang sudah renta, Waluyo tak mampu mengingat letak kampungnya. Hanya namanya saja yang ia ingat. Maka pergi lah mereka bertiga dengan mengendarai mobil Liem mencari desa Tingal dengan menyusuri jalur Pantai Utara Jawa (Pantura). Dan dimulailah kisah mereka di sepanjang jalur terkenal itu.
Setiap teman atau kejadian yang lazim ditemui di Pantura mereka singgahi. Mulai dari SPBU yang memecahkan rekor MURI hingga mampir di Lawang Sewu yang kabarnya angker itu. Di tempat-tempat itulah keisengan mereka dimulai. Waluyo yang heboh minum air sebanyak-banyaknya agar bisa menggunakan sekaligus menghitung jumlah toilet di SPBU yang memecahkan rekor itu. Atau tingkah Sanip dan Waluyo yang heboh berfoto-foto di patung-patung polisi yang banyak bertebaran di pelosok pulau Jawa.
Potret masyarakat dan tingkah polah oknum petugas pun masuk dalam kisah perjalanan para manula ini. Ada tentang jalur Pantura yang tak pernah kunjung selesai perbaikannya yang ujung-ujungnya menjadi tempat masyarakat meminta uang sumbangan untuk (katanya) perbaikan jalan. Munculnya pasar kaget sehingga membuat macet yang selalu menjadi langganan pengguna jalur Pantura. Atau oknum petugas yang meminta uang "preman" di setiap posko timbang yang harus dilewati truk-truk bermuatan super berat di jalur Pantura. Uang tutup mulut ini diartikan sebagai tindakan tahu sama tahu jika beban sebuah truk melebihi kapasitas yang ditentukan. Hal seperti ini juga biasa kok dijumpai di Jalur Lintas Sumatera.
Ada juga tentang masyarakat yang menipu jumlah lauk yang diambilnya saat berada di warung nasi Jamblang. Mengambil sepuluh macam jebis lauk tapi mengatakan pada sang penjual hanya mengambil dua atau tiga jenis saja. Suatu indikasi mahalnya kejujuran di negeri kita.
Bagi saya, cerita para tiga manula ini adalah potret keseharian masyarakat Indonesia, tak hanya di jalur pantura tapi juga hampir di seluruh Indonesia. Tak perlu kita mencemooh, memaki atau menghujat hal-hal negatif tersebut. Toh yang seperti itu juga tidak menyelesaikan masalah. Yang perlu kita lakukan adalah tidak berbuat seperti apa yang mereka lakukan. Berperilaku jujur atau menaati peraturan misalnya.
Cerita para manula ini memang keren. Dikemas ringan namun sarat informasi unik yang berguna. Saya jadi penasaran pada kisah para manula ini di Selatan Jawa.
@ Batam
08022014